Archive for Oktober 2014
Sepiring Keroncong Merdu
PILIHAN menunya beragam dan enak, berada di lokasi yang nyaman dan
area parkir yang luas. Itulah kelebihan pusat kuliner pedagang kaki lima
(PKL) di kawasan Gayungan, sekitar Masjid Agung Al Akbar Surabaya
(MAS). Nah, di sentra PKL Gayungan yang pada 2012 diresmikan Menteri UKM
dan Koperasi Syarief Hasan itulah tiga kriteria tersebut bisa
ditemukan. Makanan lokal Surabaya dari rujak cingur, lontong balap,
lontong mi dan ote-ote menjadi primadona. Makanan khas Nusantara lainnya
juga tersedia di sana. Tak heran bila sentra PKL Gayungan ini tak
pernah sepi pengunjung.
Namun ada sesuatu yang unik di sini. Sentra PKL Gayungan selalu diramaikan grup keroncong Agung Abadi. Grup tersebut terdiri dari bapak-bapak paro baya. Usia ternyata tak mempengaruhi performa mereka dalam bermain musik keroncong. Setiap lagu mereka akan selalu bermain sebaik mungkin dan menjiwai. Sungguh merdu permainan alat musik dan nyanyian yang didendangkan. Kemerduan lagu-lagu keroncong yang dimainkan, akan membuat indra pendengaran terfokus. Percaya atau tidak, kosentrasi pada indra pendengaran mengalahkan indra pengecap. Sehingga saat menyantap makanan, alunan keroncong yang merdu terasa mendominasi. Tidak percaya?
Cobalah tutup mata dengan sehelai kain. Minta bantuan teman
menyentuhkan berbagai macam benda ke tangan. Kosentrasi pasti ada pada
indra penglihatan daripada indra peraba. Indra penglihatan pasti
‘memaksa’ untuk bisa melihat benda yang disentuhkan meski mata ditutup.
Hal tersebut membuat indra peraba sulit mengenali benda yang
disentuhkan. Indra penglihatan ingin memastikan benda yang disentuh
bukan benda yang ditakuti.
Penjelasan demikian yang akan membuat sepiring makanan di sentra PKL Gayungan ini berasa seperti keroncong merdu. Indra pengecap kalah dominan dengan indra pendengaran. Sehingga rasa enak makanan kalah dengan merdunya lagu-lagu keroncong. Tak apa, makanan enak tetaplah pendamping yang pas untuk musik merdu.
Tujuan utama makan di sana berubah menjadi mendengarkan musik keroncong merdu bersanding dengan makanan enak. Musik merdu dan makanan enak, kombinasi sangat serasi. Jangan lupa memberi uang tip kepada grup musik keroncong Agung Abadi untuk hiburan yang telah mereka berikan
Namun ada sesuatu yang unik di sini. Sentra PKL Gayungan selalu diramaikan grup keroncong Agung Abadi. Grup tersebut terdiri dari bapak-bapak paro baya. Usia ternyata tak mempengaruhi performa mereka dalam bermain musik keroncong. Setiap lagu mereka akan selalu bermain sebaik mungkin dan menjiwai. Sungguh merdu permainan alat musik dan nyanyian yang didendangkan. Kemerduan lagu-lagu keroncong yang dimainkan, akan membuat indra pendengaran terfokus. Percaya atau tidak, kosentrasi pada indra pendengaran mengalahkan indra pengecap. Sehingga saat menyantap makanan, alunan keroncong yang merdu terasa mendominasi. Tidak percaya?
Gambar Grup keroncong agung abadi |
Penjelasan demikian yang akan membuat sepiring makanan di sentra PKL Gayungan ini berasa seperti keroncong merdu. Indra pengecap kalah dominan dengan indra pendengaran. Sehingga rasa enak makanan kalah dengan merdunya lagu-lagu keroncong. Tak apa, makanan enak tetaplah pendamping yang pas untuk musik merdu.
Tujuan utama makan di sana berubah menjadi mendengarkan musik keroncong merdu bersanding dengan makanan enak. Musik merdu dan makanan enak, kombinasi sangat serasi. Jangan lupa memberi uang tip kepada grup musik keroncong Agung Abadi untuk hiburan yang telah mereka berikan
Adu kreatif di Kickfest
SALAH satu kegiatan akbar dalam ekonomi kreatif pemuda adalah
kickfest, pameran pakaian lokal. Tak sembarang produsen pakaian lokal
dapat mengikuti ajang ini. Kreatif dan inovatif merupakan syarat mutlak
bagi produsen yang mengikuti ajang ini. Setiap produsen pakaian lokal
yang mengikuti kickfest tentu memiliki penggemar masing-masing. Konsep
model dan desain pakaian menjadikan senjata utama setiap produsen.
Potongan harga dan berbagai bonus ditawarkan demi menarik pengunjung
membeli produk.
Itu yang terjadi pada awal September 2014 lalu di lapangan Rampal, malang, tempat Kickfest digelar. dihelat di kota Malang. Tanda masuk sebesar dua puluh ribu per orang, Kickfest dipadati pengunjung yang sebagian besar anak muda. Gaya serta dandanan pengunjung Kickfest beragam dan modis. Mereka memanfaatkan Kickfest untuk mengekspresikan lewat fashion. Rutin dihajat di Malang, Kickfest setiap tahun memiliki tema berbeda. Kali ini mengambil tema the carnival yang diinterpresentasikan dengan bianglala dan tong edan. Tong edan adalah atraksi sepeda motor memutari tong raksasa tanpa jatuh ke dasar tong.
Aneka minuman dan jajanan di kickfest pun tak kalah kreatif dan inovatif. Beberapa franchise lokal terlihat melayani pembeli yang selalu ramai. Berbagai komunitas dan band musik turut meramaikan kickfest. Kickfest lebih dari sekadar pameran pakaian lokal. Lebih dari itu kickfest merupakan bentuk semangat dari ekonomi kreatif. Terbukti pengunjung selalu memadati kickfest untuk berburu pakaian lokal dan menikmati makanan lokal. Pengemasan pakaian lokal dalam fashion yang kreatif dan inovatif terbukti dapat menarik pemuda sebagai produsen maupun konsumen.
Makanan dan minuman sederhana seperti cilok, es teh dan berbagai jajanan lainnya mampu dijadikan franchise bergengsi. Semangat berkreasi dengan kreatif dan inovatif inilah yang diharapkan mampu mendongkrak ekonomi kreatif Indonesia. Antusiasme pemuda telah terbukti dalam ekonomi kreatif. Kini tugas pemerintah mengarahkan pemuda ke ekonomi kreatif sesuai yang diharapkan di pasar bebas ASEAN 2015 mendatang. Ayo semangat ekonomi kreatif Indonesia.
Artikel dimuat pada harian surya cetak dan online
http://surabaya.tribunnews.com/2014/09/23/adu-kreatif-di-kickfest
Itu yang terjadi pada awal September 2014 lalu di lapangan Rampal, malang, tempat Kickfest digelar. dihelat di kota Malang. Tanda masuk sebesar dua puluh ribu per orang, Kickfest dipadati pengunjung yang sebagian besar anak muda. Gaya serta dandanan pengunjung Kickfest beragam dan modis. Mereka memanfaatkan Kickfest untuk mengekspresikan lewat fashion. Rutin dihajat di Malang, Kickfest setiap tahun memiliki tema berbeda. Kali ini mengambil tema the carnival yang diinterpresentasikan dengan bianglala dan tong edan. Tong edan adalah atraksi sepeda motor memutari tong raksasa tanpa jatuh ke dasar tong.
Gambar keramaian Kickfest |
Aneka minuman dan jajanan di kickfest pun tak kalah kreatif dan inovatif. Beberapa franchise lokal terlihat melayani pembeli yang selalu ramai. Berbagai komunitas dan band musik turut meramaikan kickfest. Kickfest lebih dari sekadar pameran pakaian lokal. Lebih dari itu kickfest merupakan bentuk semangat dari ekonomi kreatif. Terbukti pengunjung selalu memadati kickfest untuk berburu pakaian lokal dan menikmati makanan lokal. Pengemasan pakaian lokal dalam fashion yang kreatif dan inovatif terbukti dapat menarik pemuda sebagai produsen maupun konsumen.
Makanan dan minuman sederhana seperti cilok, es teh dan berbagai jajanan lainnya mampu dijadikan franchise bergengsi. Semangat berkreasi dengan kreatif dan inovatif inilah yang diharapkan mampu mendongkrak ekonomi kreatif Indonesia. Antusiasme pemuda telah terbukti dalam ekonomi kreatif. Kini tugas pemerintah mengarahkan pemuda ke ekonomi kreatif sesuai yang diharapkan di pasar bebas ASEAN 2015 mendatang. Ayo semangat ekonomi kreatif Indonesia.
Artikel dimuat pada harian surya cetak dan online
http://surabaya.tribunnews.com/2014/09/23/adu-kreatif-di-kickfest
Istimewanya Gorengan Ranu Kumbolo
SIAPA tak tahu Semeru dengan Ranu Kumbolonya? Semua orang mengetahui
danau indah di gunung Semeru ini. Danau yang keindahaannya juga
ditemukan di catatan perjalanan Soe Hok Gie dan film yang mengadaptasi
novel dengan judul yang sama, 5 Cm menambah publikasi keindahaan Ranu
Kumbolo. Ranu Kumbolo di pagi yang cerah merupakan keindahan yang diburu
pendaki. Matahari terbit menyinari danau yang jernih membuat lupa
dinginnya udara pagi. Terlebih ditemani aneka gorengan yang dijajakan
penjaja di sana.
Gorengan yang dijajakan cukup beragam kendati setiap penjual hanya menjajakan satu macam gorengan saja dengan ukuran relatif kecil dan sudah dingin. Harganya cukup mahal, sekitar Rp 2.000 hingga Rp 3.000 per bijinya. Padahal di Surabaya ukuran gorengan yang sama hanya Rp 500!
Mari cari tahu. Penjual gorengan mayoritas warga Desa Ranu Pani. Jalur pendakian yang dilewati penjual gorengan dan pendaki berbeda. Waktu tempuh Ranu Pani ke Ranu Kumbolo lewat jalur pendakian Watu Rejeng dengan waktu tempuh lima hingga delapan jam lamanya untuk pendaki pemula.
Sementara penjual gorengan dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo menggunakan jalur pendakian Ayak-ayak dengan waktu tempuh dua hingga tiga jam lamanya. Jalur pendakian Ayak-ayak konon lebih singkat jarak tempuhnya dibandung jalur pendakian Watu Rejeng. Akan tetapi, jalur pendakian Ayak-ayak ditutup untuk pendaki Semeru karena jalur ini dinilai terlalu berbahaya bagi pendaki karena tanjakan dan turunan yang panjang.
Para penjual gorengan ini berangkat dari Ranu Pani pada dini hari dan tiba di Ranu Kumbolo pada pagi hari. Mereka bukan sosok yang tampak kuat seperti halnya para penngangkut barang di Semeru. Di antara mereka ada dua gadis kecil kakak beradik yang membawa sekeranjang kue dan saus gorengan. Kakak beradik ini berjualan ditemani kedua orangtua mereka.
Mereka tak menyediakan kantong plastik untuk pembeli sehingga pembeli harus menyiapkan wadah sendiri. Hal tersebut untuk mengurangi sampah plastik yang kini menjadi problem serius di Ranu Kumbolo dan sekitarnya. Di antara kelompok penjual gorengan ada ibu-ibu dengan balita dalam gendongannya yang menawarkan sekeranjang kue.
Nah, dengan memahami perjuangan para penjual gorengan, kita maklum mengapa dagangan mereka mahal dan gorengan terasa dingin. Jadi, masihkah kita menuduh gorengan mereka bertarif mahal?
Bahkan rasa gorengan pun menjadi lebih nikmat di lidah. Para penjual gorengan secara tidak langsung mengajarkan kita bahwa perjuangan hidup itu sesuatu yang berat tetapi tanpa perjuangan maka hidup bukan apa-apa. Sepotong gorengan juga mengajarkan kita bahwa makanan yang kita makan selalu ada perjuangan hebat dibaliknya maka jangan membuang-buang makanan yang dimiliki.
Tulisan dimuat harian surya cetak dan online
http://surabaya.tribunnews.com/2014/05/30/istimewanya-gorengan-ranu-kumbolo
Gorengan yang dijajakan cukup beragam kendati setiap penjual hanya menjajakan satu macam gorengan saja dengan ukuran relatif kecil dan sudah dingin. Harganya cukup mahal, sekitar Rp 2.000 hingga Rp 3.000 per bijinya. Padahal di Surabaya ukuran gorengan yang sama hanya Rp 500!
Mari cari tahu. Penjual gorengan mayoritas warga Desa Ranu Pani. Jalur pendakian yang dilewati penjual gorengan dan pendaki berbeda. Waktu tempuh Ranu Pani ke Ranu Kumbolo lewat jalur pendakian Watu Rejeng dengan waktu tempuh lima hingga delapan jam lamanya untuk pendaki pemula.
Sementara penjual gorengan dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo menggunakan jalur pendakian Ayak-ayak dengan waktu tempuh dua hingga tiga jam lamanya. Jalur pendakian Ayak-ayak konon lebih singkat jarak tempuhnya dibandung jalur pendakian Watu Rejeng. Akan tetapi, jalur pendakian Ayak-ayak ditutup untuk pendaki Semeru karena jalur ini dinilai terlalu berbahaya bagi pendaki karena tanjakan dan turunan yang panjang.
Gambar Gadis Penjual Gorengan di Ranukumbolo |
Para penjual gorengan ini berangkat dari Ranu Pani pada dini hari dan tiba di Ranu Kumbolo pada pagi hari. Mereka bukan sosok yang tampak kuat seperti halnya para penngangkut barang di Semeru. Di antara mereka ada dua gadis kecil kakak beradik yang membawa sekeranjang kue dan saus gorengan. Kakak beradik ini berjualan ditemani kedua orangtua mereka.
Mereka tak menyediakan kantong plastik untuk pembeli sehingga pembeli harus menyiapkan wadah sendiri. Hal tersebut untuk mengurangi sampah plastik yang kini menjadi problem serius di Ranu Kumbolo dan sekitarnya. Di antara kelompok penjual gorengan ada ibu-ibu dengan balita dalam gendongannya yang menawarkan sekeranjang kue.
Nah, dengan memahami perjuangan para penjual gorengan, kita maklum mengapa dagangan mereka mahal dan gorengan terasa dingin. Jadi, masihkah kita menuduh gorengan mereka bertarif mahal?
Bahkan rasa gorengan pun menjadi lebih nikmat di lidah. Para penjual gorengan secara tidak langsung mengajarkan kita bahwa perjuangan hidup itu sesuatu yang berat tetapi tanpa perjuangan maka hidup bukan apa-apa. Sepotong gorengan juga mengajarkan kita bahwa makanan yang kita makan selalu ada perjuangan hebat dibaliknya maka jangan membuang-buang makanan yang dimiliki.
Tulisan dimuat harian surya cetak dan online
http://surabaya.tribunnews.com/2014/05/30/istimewanya-gorengan-ranu-kumbolo