Posted by : Wisnu Hari Anggara Senin, 27 Oktober 2014

SIAPA tak tahu Semeru dengan Ranu Kumbolonya? Semua orang mengetahui danau indah di gunung Semeru ini. Danau yang keindahaannya juga ditemukan di catatan perjalanan Soe Hok Gie dan film yang mengadaptasi novel dengan judul yang sama, 5 Cm menambah publikasi keindahaan Ranu Kumbolo. Ranu Kumbolo di pagi yang cerah merupakan keindahan yang diburu pendaki. Matahari terbit menyinari danau yang jernih membuat lupa dinginnya udara pagi. Terlebih ditemani aneka gorengan yang dijajakan penjaja di sana.
Gorengan yang dijajakan cukup beragam kendati setiap penjual hanya menjajakan satu macam gorengan saja dengan ukuran relatif kecil dan sudah dingin. Harganya cukup mahal, sekitar Rp 2.000 hingga Rp 3.000 per bijinya. Padahal di Surabaya ukuran gorengan yang sama hanya Rp 500!
Mari cari tahu. Penjual gorengan mayoritas warga Desa Ranu Pani. Jalur pendakian yang dilewati penjual gorengan dan pendaki berbeda. Waktu tempuh Ranu Pani ke Ranu Kumbolo lewat jalur pendakian Watu Rejeng dengan waktu tempuh lima hingga delapan jam lamanya untuk pendaki pemula.
Sementara penjual gorengan dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo menggunakan jalur pendakian Ayak-ayak dengan waktu tempuh dua hingga tiga jam lamanya. Jalur pendakian Ayak-ayak konon lebih singkat jarak tempuhnya dibandung jalur pendakian Watu Rejeng. Akan tetapi, jalur pendakian Ayak-ayak ditutup untuk pendaki Semeru karena jalur ini dinilai terlalu berbahaya bagi pendaki karena tanjakan dan turunan yang panjang.

Gambar Gadis Penjual Gorengan di Ranukumbolo

Para penjual gorengan ini berangkat dari Ranu Pani pada dini hari dan tiba di Ranu Kumbolo pada pagi hari. Mereka bukan sosok yang tampak kuat seperti halnya para penngangkut barang di Semeru. Di antara mereka ada dua gadis kecil kakak beradik yang membawa sekeranjang kue dan saus gorengan. Kakak beradik ini berjualan ditemani kedua orangtua mereka.
Mereka tak menyediakan kantong plastik untuk pembeli sehingga pembeli harus menyiapkan wadah sendiri. Hal tersebut untuk mengurangi sampah plastik yang kini menjadi problem serius di Ranu Kumbolo dan sekitarnya. Di antara kelompok penjual gorengan ada ibu-ibu dengan balita dalam gendongannya yang menawarkan sekeranjang kue.
Nah, dengan memahami perjuangan para penjual gorengan, kita maklum mengapa dagangan mereka mahal dan gorengan terasa dingin. Jadi, masihkah kita menuduh gorengan mereka bertarif mahal?
Bahkan rasa gorengan pun menjadi lebih nikmat di lidah. Para penjual gorengan secara tidak langsung mengajarkan kita bahwa perjuangan hidup itu sesuatu yang berat tetapi tanpa perjuangan maka hidup bukan apa-apa. Sepotong gorengan juga mengajarkan kita bahwa makanan yang kita makan selalu ada perjuangan hebat dibaliknya maka jangan membuang-buang makanan yang dimiliki.

Tulisan dimuat harian surya cetak dan online

http://surabaya.tribunnews.com/2014/05/30/istimewanya-gorengan-ranu-kumbolo

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Blogger templates

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa Prodi S1 Pendidikan Teknik Eelektro offering A 2011 Universitas Negeri Malang

- Copyright © Wisnu Hari Anggara -Metrominimalist- Powered by Blogger